Seorang wanita muda sedang menunggu bus di suatu wilayah yang rawan kejahatan. Tiba-tiba seorang polisi muda mendekatinya dan bertanya, "Apakah Anda ingin saya temani untuk menunggu bus?" "Tidak perlu," sahutnya. "Saya tidak takut." "Baiklah, tapi..." sambung polisi baru itu dengan tersenyum lebar, "Tidak keberatankah Anda menemani saya?"
Seperti polisi itu, kita sebagai orang kristiani harus bersedia mengakui bahwa kadang-kadang kita merasa sangat takut apabila menghadapi kematian, terserang penyakit mematikan, kehilangan pekerjaan, anak-anak kita tertimpa masalah, ataupun bila menghadapi penuaan. Kita tidak suka untuk mengakui hal itu sehingga kita mengabaikan, mengingkari, ataupun menekan rasa takut itu. Namun untuk mengatasi rasa takut, hal pertama yang harus kita lakukan adalah mengakuinya.
Sang pemazmur mengakui rasa takutnya. "Waktu aku takut," ujarnya, "aku ini percaya kepada-Mu" (Mazmur 56:4). Kepercayaan kepada Tuhan yang demikian itu justru membuatnya memiliki keyakinan yang semakin besar. "Aku tidak takut" begitu katanya (Mazmur 56:5). Dan sekali lagi dikatakannya, "Aku tidak takut" (Mazmur 56:12). Ini tidak hanya sekadar berbicara kepada diri sendiri. Ini merupakan suatu keputusan yang dilakukan secara sadar untuk mempercayai Allah: "Aku percaya."
Kita dapat menaklukkan rasa takut. Dengan mengakui bahwa kita takut, berarti kita mengakui bahwa kita adalah manusia biasa. Namun, dengan mengakui rasa takut lalu mempercayai Tuhan dan maju terus akan menghilangkan rasa takut kita terhadap ketakutan itu sendiri.
Tak ada yang perlu kita takutkan kecuali ketakutan itu sendiri.